Jumat, 19 April 2013

Ilmu Pengetahuan Sosial

LEMBAGA PENDIDIKAN dan LEMBAGA AGAMA
2.1. Lembaga Pendidikan
2.1.1. Pengertian Lembaga Pendidikan
Kebutuhan akan intensitas ( kedalaman ) pengetahuan atau pendidikan pada tiap masyarakat tentu berbeda – beda. Dalam lembaga pendidikan ini, adanya lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan informal.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “ Lembaga “ adalah bakal dari sesuatu, asal mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, acuan, ikatan, badan atau organisasi yang mempunyai tujuan yang jelas terutama dalam bidang keilmuan. Sedangkan secara umum “ Pendidikan “ dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau latihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Lembaga menurut bahasa adalah badan atau organisasi ( tempat berkumpul ). Badan ( lembaga ) pendidikan menurut Ahmad D. Marimba adalah organisasi atau kelompok manusia yang karena satu dan lain hal memikul tanggung jawab pendidikan kepada siterdidik sesuai dengan badan tersebut. ( Marimba, 1987 : 56 )
Secara terminologi lembaga pendidikan adalah suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan, lembaga pendidikan itu memandang kongkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma – norma dan peraturan – peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.

2.1.2. Jenis Lembaga Pendidikan
a.       Keluarga
Lembaga pendidikan yang pertama adalah keluarga, yang bersifat informal. Dimana keluarga adalah tempat peserta didik pertama kali menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya atau anggota keluarga yang lain ( Zuhairini, 1991 : 177 ). Selain itu juga, didalam lingkungan keluarga segenap potensi yang dimiliki manusia terbentuk dan sebagian dikembangkan.
Menurut GBHN tahun 1993 menyatakan bahwa pembinaan pendidikan di lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan pendidikan prasekolah, disamping sebagai wahana sosialisasi awal sebelum pendidikan dasar, dikembangkan agar lebih mampu meletakkan landasan pembentukkan watak dan kepribadian, penanaman dan pengenalan agama dan budi pekerti serta dasar pergaulan. Dalam hal ini, perlu keteladanan dan pengembangan suasana yang membantu peletakkan dasar kearah pengembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta.[2]
b.      Sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang sangat penting sesudah keluarga. Pendidikan yang berlangsung disekolah bersifat sistematis, berjenjang dan dibagi dalam waktu – waktu tertentu, yang berlangsung dari taman kanak – kanak sampai perguruan tinggi. ( Marimba, 1987 : 61 )
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang melaksanakan pembinaan, pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan terencana. Sekolah juga merupakan sebagai pusat pendidikan formal, ia lahir dan berkembang dari pemikiran efisiensi dan efektivitas didalam pemberian pendidikan kepada warga masyarakat. Lembaga pendidikan formal atau persekolahan, kelahiran dan pertumbuhannya dari dan untuk masyarakat yang bersangkutan. Artinya, sekolah sebagai pusat pendidikan formal merupakan perangkat masyarakat yang diserahi kewajiban pemberian pendidikan. Perangkat ini ditata dan dikelola secara formal, mengikuti haluan yang pasti dan diberlakukan di masyarakat bersangkutan. Haluan tersebut tercermin didalam falsafah dan tujuan, penjenjangan, kurikulum pengadministrasian serta pengelolaannya.[3]
c.       Masyarakat
Masyarakat adalah kelompok manusia yang menempati suatu wilayah dalam waktu yang relatif lama, saling berinteraksi satu sama lain sesuai nilai dan norma yang berlaku.
Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang ketiga setelah keluarga dan sekolah. Corak pendidikan yang diterima oleh peserta didik dalam masyarakat ini banyak sekali, yaitu meliputi segala bidang, baik pembentukkan kebiasaan, pengetahuan, sikap dan minat maupun pembentukkan kesusilaan dan keagamaan. (Zuhairini, 1992 : 180)   
2.1.3. Fungsi Lembaga Pendidikan
Fungsi lembaga pendidikan yaitu dalam mensosialisasikan kebudayaan kepada warga masyarakat, terutama kepada generasi muda ( penerus ) sebagai generasi pewaris nilai – nilai luhur budaya dan penerus cita – cita perjuangan bangsa dan insan pembangunan. Manusia memilki bakat yang telah terkandung dalam gennya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu serta emosi dalam kepribadian individunya, namun wujud dan pengaktifannya dari berbagai macam ini kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang berada dalam alam sekitar dan lingkungan sosial maupun budayanya. [4]
Menurut Horton dan Hunt ( 1984 )[5], lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata ( manifes ), yaitu :
a.       Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
b.      Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
c.       Melestarikan kebudayaan.
d.      Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Sedangkan lembaga pendidikan yang berkaitan dengan fungsi laten, yaitu sebagai berikut :
a.       Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan sekolah, orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
b.      Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan dimasyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
c.       Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
d.      Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
 Selain fungsi yang telah dipaparkan diatas, menurut David Popenoe (1971)[6], ada empat macam fungsi pendidikan, yakni sebagai berikut :
a.       Transmisi (pemindahan) kebudayaan masyarakat. Pendidikan selalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Misalnya, pendidikan yang mengacu kepada pembangunan yang berwawasan lingkungan (lingkungan sosial maupun fisik). Contoh, pendidikan dasar 9 tahun yang dibekali kurikulum muatan lokal yang disesuaikan dengan ciri khas daerahnya. Seperti di Bali, sebagai daerah wisata, sejak dini siswa di sekolah sudah di bekali dengan keterampilan berbahasa asing dan membuat barang – barang kerajinan tangan yang mendukung wisata daerahnya.
b.      Memilih dan mengajarkan peranan sosial. Pada masyarakat Indonesia yang majemuk, faktor integrasi sosial sangat penting. Fungsi pendidikan sangat penting untuk menjamin adanya integrasi sosial. Cara – cara yang dilakukan adalah sebagai berikut :
·         Sekolah mengajarkan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antarsuku bangsa atau golongan berbeda.
·         Sekolah mengajarkan pengalaman yang sama kepada anak didik melalui buku – buku pelajaran atau buku – buku bacaan sekolah. Dengan pengalaman, itu akan berkembang nilai – nilai yang sama dalam diri anak didik.
c.       Sekolah mengajarkan corak kepribadian. Misalnya, melalui pelajaran sejarah, geografi, sosiologi, lagu – lagu nasional dan juga melalui pelaksanaan upacara bendera setiap hari senin atau hari – hari besar. Dari pelajaran tersebut, diharapkan akan mempertebal rasa nasionalisme.
d.      Sumber inovasi sosial. Melalui pendidikan, para peserta didik diperkenalkan iptek sehingga mampu menjawab tantangan hidup zamannya. Iptek berfungsi untuk mempermudah hidup manusia. Melalui inovasi hasil penemuan yang sudah ada dan dan revisi terhadap kekurangan – kekurangannya, siswa diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik bagi masyarakat. Sebagai contoh, menemukan alat perontok padi, menggunakan energi kincir angin dalam mengelola hasil pertanian, menciptakan lampu lalu lintas secara sentral untuk mengatasi kemacetan dan membuat alat peraga untuk media pembelajaran.
2.1.4. Unsur – unsur Lembaga Pendidikan
Seperti halnya lembaga agama, lembaga pendidikan juga memiliki unsur – unsur berikut :
Ø  Pola perilaku               : cinta pengetahuan, kehadiran, meneliti, semangat belajar.
Ø  Budaya simbolis          : seragam sekolah, maskot, lagu – lagu sekolah, logo.
Ø  Budaya manfaat          : kelas, perpustakaan, buku, laboratorium, lapangan.
Ø  Kode spesialisasi         : akreditasi, tata tertib, kurikulum, tingkatan / strata.
Ø  Idiologi                       : keberhasilan akademis, pendidikan progresif, inovatif, klasikisme.        


2.2. Lembaga Agama
2.2.1. Pengertian Lembaga Agama
Agama merupakan suatu lembaga ( institusi ) penting yang mengatur kehidupan manusia. Dalam hal ini, diartikan dengan istilah religion. Menurut Durkheim ( 1966 ), agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat.
Durkheim menjelaskan bahwa semua kepercayaan agama membagi semua benda yang ada di bumi ini, baik yang berwujud nyata maupun yang berwujud ideal, ke dalam dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu hal yang bersifat profan dan hal yang bersifat suci ( sacred ), atau duniawi dan Ilahi.
Agama merupakan sarana bagi manusia untuk berhubungan dengan Sang Pencipta sehingga manusia senantiasa mendekatkan diri pada – Nya. Melalui kitab suci, manusia diberi petunjuk untuk mencapai keselamatan di dunia maupun di akhirat. Jika manusia kehilangan arah atau menyimpang dari norma sosial tertentu yang berlaku, maka agama dapat mengembalikan keseimbangan. Jika seseorang tidak memiliki agama, ia akan kehilangan arah di dalam hidupnya. Sebagai manusia yang beragama, dia senantiasa harus konsisten terhadap aturan – aturan agamanya masing – masing, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan – Nya. Kelak, manusia akan kembali kepada Tuhan Sang Pencipta dan mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia.
Lembaga agama merupakan sistem keyakinan dan praktek keagamaan yang penting dari masyarakat yang telah dilakukan dan dirumuskan serta yang dianut secara luas dan dipandang sebagai perlu dan benar. Asosiasi agama merupakan kelompok orang yang terorganisasi yang secara bersama – sama menganut keyakinan dan menjalankan praktek agama.
2.2.2. Pelembagaan Agama
Agama melalui wahyunya atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia guna memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan di akhirat, di dalam perjuangannya tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam hal penting bersifat keagamaan.
Bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama dan adanya fungsi diferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oleh perkembangan agama, maka tampillah organisasi keagamaan yang terlembaga yang fungsinya adalah mengelola masalah keagamaan. Adanya organisasi keagamaan ini, meningkatnya pembagian kerja dan spesifikasi fungsi, memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan adatif.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus semula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi, kemudian menjadi organisasi keagamaan yang terlembaga. Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang penting, dipelopori oleh pribadi Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al – Manar. Ayat suci Al – qur’an telah memberikan inspirasi kepada Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu “ motto-nya” ialah bahwa Muhammadiyah di pandang sebagai “ segolongan dari kaum “ mengajak kepada kebaikan, mencegah perbuatan jahat ( amar ma’ruf nshi’anil munkar ). Organisasi agama ini tidak lepas dari tokoh kharismatik Dahlan ( di Indonesia )  dan Abduh yang memikat Dahlan, terutama dalam praktik lahiriah dan pembaharuan pemikiran ( ijtihad ) menyangkut masalah fundamental masyarakat dan umat Islam. Demikian juga Nadlatul Ulama ( NU ), yang artinya “ kebangkitan ulama “, menekankan keterkaitan pada mazhab Syafii dan mengimbangi golongan pembaharu. Semula organisasi ini tidak mempunyai anggaran dasar ( tahun 1926 ), baru setelah tahun 1927 organisasi ini dirumuskan. Kegiatannya, selain tertib beragama, juga memperbaiki sosial masyarakat.[7]
Dari contoh sosial, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide – ide, ketentuan atau keyakinan dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan ( ibadat ) dan tingkat organisasi. Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya perubahan batin atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan dan sebagainya. Agama menunjuk ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
2.2.3. Fungsi Lembaga Agama
Menurut Durkheim ( 1966 )[8], melalui komunikasi dengan Tuhan, orang yang beriman bukan hanya mengetahui kebenaran yang tidak diketahui orang yang tidak percaya ( athies ), tetapi juga orang yang lebih kuat. Menurutnya fungsi agama adalah untuk menggerakkan dan membantu kita untuk hidup. Dari segi makro, agama dapat menjalankan fungsi positif karena mamanuhi keperluan masyarakat untuk secara berkala menegakkan dan memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri dan inti persatuan dan persamaan umat di pupuk dan di bina.
Adapun sosiolog yang mengemukakan bahwa agama sebagai institusi mempunyai kelemahan pula. Misalnya, munculnya pertentangan atau konflik sebagai akibat sikaf fanatik antarumat yang beragama. Namun, apabila kita amati lebih dalam, konflik antarumat beragama tidak semata – mata karena faktor agama, tetapi banyak dipengaruhi faktor kepentingan di luar agama, seperti kepentingan politik dan ekonomi.
Secara rinci, agama berfungsi sebagai berikut :
Ø  Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok.
Ø  Mengatur tata cara hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhannya.
Ø  Merupakan tuntunan prinsif benar atau salah untuk menghindari perilaku menyimpang, seperti membunuh, memperkosa, berzina dan berjudi.
Ø  Pedoman untuk mengungkapkan rasa kebersamaan yang mewajibkan untuk selalu berbuat baik dengan sesamanya dan lingkungan hidupnya.
Ø  Pedoman perasaan keyakinan ( confidence ). Siapapun yang selalu berbuat baik akan mendapat pahala dari Tuhannya.
Ø  Pedoman keberadaan ( existence ). Keberadaan alam semesta dengan segala isinya termasuk didalamnya manusia harus di sikapi dengan rasa syukur dan ikhlas.
Ø  Pengungkapan keindahan ( estetika ). Manusia yang suka akan keindahan dapat mengekspresikan rasa estetikanya dengan membangun rumah ibadah dan hal – hal lain yang berkaitan dengan kepercayaan agama yang di anutnya.
Ø  Pedoman rekreasi dan hiburan.
Ø  Memberikan identitas kepada manusia sebagai bagian dari suatu agama. Misalnya, sebagai umat Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu.
2.2.4. Unsur Lembaga Agama
Menurut Leight, Keller dan Challhoun ( 1989 ), unsur – unsur dasar agama adalah sebagai berikut :
Ø  Kepercayaan adalah suatu prinsif yang di anggap benar dan tanpa ada keraguan lagi.
Ø  Praktik keagamaan, seperti berdo’a, bersembahyang, berpuasa, dan sedekah.
Ø  Simbol keagamaan dapat memberi tanda atau identitas agama yang dianutnya.
Ø  Umat adalah penganut masing – masing agama. Sekarang ini, banyak wadah atau organisasi yang menampung umat beragama dalam rangka melaksanakan praktik agamanya, seperti KWI, Majelis Taklim, Paroki dan PGI.
Ø  Pengalaman Keagamaan.        


[1] Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XII. Jakarta. Gelora Aksara Pratama. Hal : 70
[2] R.E.M. Soerjanegara dan dkk. 1995. Sosiologi untuk SMU. Bandung. Angkasa. Hal : 217
[3] Drs. Sanapiah Faisal.1981.Pengantar Dasar – dasar Kependidikan.Surabaya. Usaha Nasional. Hal : 146
[4]R.E.M.Soerjanegara dan dkk. 1995. Sosiologi untuk SMU. Bandung. Angkasa. Hal : 213
[5] Kun Maryati dan Juju Suyawati. 2007. Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XII. Jakarta. Gelora Aksara Pratama. Hal : 71
[6] Ibid. Hal : 72
[7] Munandar Soelaeman. 1993. Ilmu Sosial Dasar. Bandung. Pt Eresco. Hal : 226 - 229
[8] Kun Maryati dan Juju Suryawati.2007.Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XII.Jakarta.Gelora Aksara Pratama.Hal : 80 - 81