LEMBAGA PENDIDIKAN dan LEMBAGA
AGAMA
2.1. Lembaga Pendidikan
2.1.1.
Pengertian Lembaga Pendidikan
Kebutuhan akan intensitas ( kedalaman )
pengetahuan atau pendidikan pada tiap masyarakat tentu berbeda – beda. Dalam
lembaga pendidikan ini, adanya lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan
informal.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “ Lembaga “ adalah bakal dari sesuatu,
asal mula yang akan menjadi sesuatu, bakal, bentuk, wujud, rupa, acuan, ikatan,
badan atau organisasi yang mempunyai tujuan yang jelas terutama dalam bidang
keilmuan. Sedangkan secara umum “
Pendidikan “ dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau latihan agar peserta
didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Lembaga menurut bahasa adalah badan atau
organisasi ( tempat berkumpul ). Badan ( lembaga ) pendidikan menurut Ahmad D.
Marimba adalah organisasi atau kelompok manusia yang karena satu dan lain hal
memikul tanggung jawab pendidikan kepada siterdidik sesuai dengan badan
tersebut. ( Marimba, 1987 : 56 )
Secara terminologi lembaga pendidikan adalah
suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan, lembaga pendidikan
itu memandang kongkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang
abstrak, dengan adanya norma – norma dan peraturan – peraturan tertentu, serta
penanggung jawab pendidikan itu sendiri.
2.1.2.
Jenis Lembaga Pendidikan
a. Keluarga
Lembaga pendidikan yang pertama adalah
keluarga, yang bersifat informal. Dimana keluarga adalah tempat peserta didik
pertama kali menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya atau anggota
keluarga yang lain ( Zuhairini, 1991 : 177 ). Selain itu juga, didalam
lingkungan keluarga segenap potensi yang dimiliki manusia terbentuk dan
sebagian dikembangkan.
Menurut GBHN tahun 1993 menyatakan bahwa
pembinaan pendidikan di lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama
dan pendidikan prasekolah, disamping sebagai wahana sosialisasi awal sebelum
pendidikan dasar, dikembangkan agar lebih mampu meletakkan landasan
pembentukkan watak dan kepribadian, penanaman dan pengenalan agama dan budi
pekerti serta dasar pergaulan. Dalam hal ini, perlu keteladanan dan
pengembangan suasana yang membantu peletakkan dasar kearah pengembangan sikap,
pengetahuan, keterampilan dan daya cipta.[2]
b. Sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang
sangat penting sesudah keluarga. Pendidikan yang berlangsung disekolah bersifat
sistematis, berjenjang dan dibagi dalam waktu – waktu tertentu, yang
berlangsung dari taman kanak – kanak sampai perguruan tinggi. ( Marimba, 1987 :
61 )
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang
melaksanakan pembinaan, pendidikan dan pengajaran dengan sengaja, teratur dan
terencana. Sekolah juga merupakan sebagai pusat pendidikan formal, ia lahir dan
berkembang dari pemikiran efisiensi dan efektivitas didalam pemberian
pendidikan kepada warga masyarakat. Lembaga pendidikan formal atau
persekolahan, kelahiran dan pertumbuhannya dari dan untuk masyarakat yang
bersangkutan. Artinya, sekolah sebagai pusat pendidikan formal merupakan
perangkat masyarakat yang diserahi kewajiban pemberian pendidikan. Perangkat
ini ditata dan dikelola secara formal, mengikuti haluan yang pasti dan
diberlakukan di masyarakat bersangkutan. Haluan tersebut tercermin didalam
falsafah dan tujuan, penjenjangan, kurikulum pengadministrasian serta
pengelolaannya.[3]
c. Masyarakat
Masyarakat adalah kelompok manusia yang
menempati suatu wilayah dalam waktu yang relatif lama, saling berinteraksi satu
sama lain sesuai nilai dan norma yang berlaku.
Masyarakat merupakan lembaga pendidikan
yang ketiga setelah keluarga dan sekolah. Corak pendidikan yang diterima oleh
peserta didik dalam masyarakat ini banyak sekali, yaitu meliputi segala bidang,
baik pembentukkan kebiasaan, pengetahuan, sikap dan minat maupun pembentukkan
kesusilaan dan keagamaan. (Zuhairini, 1992 : 180)
2.1.3.
Fungsi Lembaga Pendidikan
Fungsi lembaga pendidikan yaitu dalam
mensosialisasikan kebudayaan kepada warga masyarakat, terutama kepada generasi
muda ( penerus ) sebagai generasi pewaris nilai – nilai luhur budaya dan
penerus cita – cita perjuangan bangsa dan insan pembangunan. Manusia memilki
bakat yang telah terkandung dalam gennya untuk mengembangkan berbagai macam
perasaan, hasrat, nafsu serta emosi dalam kepribadian individunya, namun wujud
dan pengaktifannya dari berbagai macam ini kepribadiannya itu sangat dipengaruhi
oleh berbagai macam stimulasi yang berada dalam alam sekitar dan lingkungan
sosial maupun budayanya. [4]
Menurut Horton dan Hunt ( 1984 )[5],
lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi
yang nyata ( manifes ), yaitu :
a. Mempersiapkan
anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
b. Mengembangkan
bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
c. Melestarikan
kebudayaan.
d. Menanamkan
keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Sedangkan lembaga pendidikan yang
berkaitan dengan fungsi laten, yaitu
sebagai berikut :
a. Mengurangi
pengendalian orang tua. Melalui pendidikan sekolah, orang tua melimpahkan tugas
dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
b. Menyediakan
sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai
pembangkangan dimasyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan
antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan
sikap terbuka.
c. Mempertahankan
sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan
kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese dan
status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran
mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai
dengan status orang tuanya.
d. Memperpanjang
masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang
karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Selain
fungsi yang telah dipaparkan diatas, menurut David Popenoe (1971)[6],
ada empat macam fungsi pendidikan, yakni sebagai berikut :
a. Transmisi
(pemindahan) kebudayaan masyarakat. Pendidikan selalu disesuaikan dengan
situasi dan kondisi masyarakatnya. Misalnya, pendidikan yang mengacu kepada
pembangunan yang berwawasan lingkungan (lingkungan sosial maupun fisik).
Contoh, pendidikan dasar 9 tahun yang dibekali kurikulum muatan lokal yang
disesuaikan dengan ciri khas daerahnya. Seperti di Bali, sebagai daerah wisata,
sejak dini siswa di sekolah sudah di bekali dengan keterampilan berbahasa asing
dan membuat barang – barang kerajinan tangan yang mendukung wisata daerahnya.
b. Memilih
dan mengajarkan peranan sosial. Pada masyarakat Indonesia yang majemuk, faktor
integrasi sosial sangat penting. Fungsi pendidikan sangat penting untuk
menjamin adanya integrasi sosial. Cara – cara yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
·
Sekolah mengajarkan bahasa nasional,
yakni bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antarsuku bangsa atau golongan
berbeda.
·
Sekolah mengajarkan pengalaman yang sama
kepada anak didik melalui buku – buku pelajaran atau buku – buku bacaan
sekolah. Dengan pengalaman, itu akan berkembang nilai – nilai yang sama dalam
diri anak didik.
c. Sekolah
mengajarkan corak kepribadian. Misalnya, melalui pelajaran sejarah, geografi,
sosiologi, lagu – lagu nasional dan juga melalui pelaksanaan upacara bendera
setiap hari senin atau hari – hari besar. Dari pelajaran tersebut, diharapkan
akan mempertebal rasa nasionalisme.
d. Sumber
inovasi sosial. Melalui pendidikan, para peserta didik diperkenalkan iptek
sehingga mampu menjawab tantangan hidup zamannya. Iptek berfungsi untuk
mempermudah hidup manusia. Melalui inovasi hasil penemuan yang sudah ada dan
dan revisi terhadap kekurangan – kekurangannya, siswa diharapkan dapat
menghasilkan sesuatu yang lebih baik bagi masyarakat. Sebagai contoh, menemukan
alat perontok padi, menggunakan energi kincir angin dalam mengelola hasil
pertanian, menciptakan lampu lalu lintas secara sentral untuk mengatasi
kemacetan dan membuat alat peraga untuk media pembelajaran.
2.1.4.
Unsur – unsur Lembaga Pendidikan
Seperti halnya lembaga agama, lembaga
pendidikan juga memiliki unsur – unsur berikut :
Ø Pola
perilaku : cinta
pengetahuan, kehadiran, meneliti, semangat belajar.
Ø Budaya
simbolis : seragam sekolah,
maskot, lagu – lagu sekolah, logo.
Ø Budaya
manfaat : kelas, perpustakaan,
buku, laboratorium, lapangan.
Ø Kode
spesialisasi : akreditasi, tata
tertib, kurikulum, tingkatan / strata.
Ø Idiologi : keberhasilan akademis,
pendidikan progresif, inovatif, klasikisme.
2.2. Lembaga Agama
2.2.1.
Pengertian Lembaga Agama
Agama merupakan suatu lembaga (
institusi ) penting yang mengatur kehidupan manusia. Dalam hal ini, diartikan
dengan istilah religion. Menurut
Durkheim ( 1966 ), agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas
kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kepercayaan dan
praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu
komunitas moral yang dinamakan umat.
Durkheim menjelaskan
bahwa semua kepercayaan agama membagi semua benda yang ada di bumi ini, baik
yang berwujud nyata maupun yang berwujud ideal, ke dalam dua kelompok yang
saling bertentangan, yaitu hal yang bersifat profan dan hal yang bersifat suci
( sacred ), atau duniawi dan Ilahi.
Agama merupakan sarana bagi manusia
untuk berhubungan dengan Sang Pencipta sehingga manusia senantiasa mendekatkan
diri pada – Nya. Melalui kitab suci, manusia diberi petunjuk untuk mencapai
keselamatan di dunia maupun di akhirat. Jika manusia kehilangan arah atau
menyimpang dari norma sosial tertentu yang berlaku, maka agama dapat
mengembalikan keseimbangan. Jika seseorang tidak memiliki agama, ia akan
kehilangan arah di dalam hidupnya. Sebagai manusia yang beragama, dia
senantiasa harus konsisten terhadap aturan – aturan agamanya masing – masing,
yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan – Nya. Kelak, manusia akan
kembali kepada Tuhan Sang Pencipta dan mempertanggung jawabkan segala
perbuatannya di dunia.
Lembaga agama merupakan sistem keyakinan
dan praktek keagamaan yang penting dari masyarakat yang telah dilakukan dan
dirumuskan serta yang dianut secara luas dan dipandang sebagai perlu dan benar.
Asosiasi agama merupakan kelompok orang yang terorganisasi yang secara bersama
– sama menganut keyakinan dan menjalankan praktek agama.
2.2.2.
Pelembagaan Agama
Agama melalui wahyunya atau kitab
sucinya memberikan petunjuk kepada manusia guna memenuhi kebutuhan mendasar,
yaitu selamat di dunia dan di akhirat, di dalam perjuangannya tentu tidak boleh
lalai. Untuk kepentingan tersebut perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial,
merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia,
keluarga, kelompok kerja, yang dalam hal penting bersifat keagamaan.
Bermula dari para ahli agama yang
mempunyai pengalaman agama dan adanya fungsi diferensiasi internal dan
stratifikasi yang ditimbulkan oleh perkembangan agama, maka tampillah
organisasi keagamaan yang terlembaga yang fungsinya adalah mengelola masalah
keagamaan. Adanya organisasi keagamaan ini, meningkatnya pembagian kerja dan
spesifikasi fungsi, memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif
dan adatif.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara
khusus semula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi,
kemudian menjadi organisasi keagamaan yang terlembaga. Muhammadiyah, sebuah
organisasi sosial Islam yang penting, dipelopori oleh pribadi Kiai Haji Ahmad
Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al – Manar. Ayat
suci Al – qur’an telah memberikan inspirasi kepada Dahlan untuk mendirikan
Muhammadiyah. Salah satu “ motto-nya”
ialah bahwa Muhammadiyah di pandang sebagai “ segolongan dari kaum “ mengajak kepada kebaikan, mencegah perbuatan
jahat ( amar ma’ruf nshi’anil munkar ). Organisasi agama ini tidak lepas dari
tokoh kharismatik Dahlan ( di Indonesia ) dan Abduh yang memikat Dahlan, terutama dalam
praktik lahiriah dan pembaharuan pemikiran ( ijtihad ) menyangkut masalah
fundamental masyarakat dan umat Islam. Demikian juga Nadlatul Ulama ( NU ),
yang artinya “ kebangkitan ulama “,
menekankan keterkaitan pada mazhab Syafii dan mengimbangi golongan pembaharu.
Semula organisasi ini tidak mempunyai anggaran dasar ( tahun 1926 ), baru
setelah tahun 1927 organisasi ini dirumuskan. Kegiatannya, selain tertib
beragama, juga memperbaiki sosial masyarakat.[7]
Dari contoh sosial, lembaga keagamaan
berkembang sebagai pola ibadah, pola ide – ide, ketentuan atau keyakinan dan
tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya
terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan ( ibadat ) dan tingkat
organisasi. Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya perubahan batin
atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi
fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan dan sebagainya. Agama menunjuk ke
pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam
berbagai corak organisasi keagamaan.
2.2.3.
Fungsi Lembaga Agama
Menurut Durkheim ( 1966 )[8],
melalui komunikasi dengan Tuhan, orang yang beriman bukan hanya mengetahui
kebenaran yang tidak diketahui orang yang tidak percaya ( athies ), tetapi juga
orang yang lebih kuat. Menurutnya fungsi agama adalah untuk menggerakkan dan
membantu kita untuk hidup. Dari segi makro, agama dapat menjalankan fungsi
positif karena mamanuhi keperluan masyarakat untuk secara berkala menegakkan
dan memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri dan inti persatuan
dan persamaan umat di pupuk dan di bina.
Adapun sosiolog yang mengemukakan bahwa
agama sebagai institusi mempunyai kelemahan pula. Misalnya, munculnya
pertentangan atau konflik sebagai akibat sikaf fanatik antarumat yang beragama.
Namun, apabila kita amati lebih dalam, konflik antarumat beragama tidak semata
– mata karena faktor agama, tetapi banyak dipengaruhi faktor kepentingan di
luar agama, seperti kepentingan politik dan ekonomi.
Secara rinci, agama berfungsi sebagai
berikut :
Ø Sumber
pedoman hidup bagi individu maupun kelompok.
Ø Mengatur
tata cara hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhannya.
Ø Merupakan
tuntunan prinsif benar atau salah untuk menghindari perilaku menyimpang,
seperti membunuh, memperkosa, berzina dan berjudi.
Ø Pedoman
untuk mengungkapkan rasa kebersamaan yang mewajibkan untuk selalu berbuat baik
dengan sesamanya dan lingkungan hidupnya.
Ø Pedoman
perasaan keyakinan ( confidence ). Siapapun yang selalu berbuat baik akan
mendapat pahala dari Tuhannya.
Ø Pedoman
keberadaan ( existence ). Keberadaan alam semesta dengan segala isinya termasuk
didalamnya manusia harus di sikapi dengan rasa syukur dan ikhlas.
Ø Pengungkapan
keindahan ( estetika ). Manusia yang suka akan keindahan dapat mengekspresikan
rasa estetikanya dengan membangun rumah ibadah dan hal – hal lain yang
berkaitan dengan kepercayaan agama yang di anutnya.
Ø Pedoman
rekreasi dan hiburan.
Ø Memberikan
identitas kepada manusia sebagai bagian dari suatu agama. Misalnya, sebagai
umat Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu.
2.2.4.
Unsur Lembaga Agama
Menurut Leight, Keller dan Challhoun (
1989 ), unsur – unsur dasar agama adalah sebagai berikut :
Ø Kepercayaan
adalah suatu prinsif yang di anggap benar dan tanpa ada keraguan lagi.
Ø Praktik
keagamaan, seperti berdo’a, bersembahyang, berpuasa, dan sedekah.
Ø Simbol
keagamaan dapat memberi tanda atau identitas agama yang dianutnya.
Ø Umat
adalah penganut masing – masing agama. Sekarang ini, banyak wadah atau
organisasi yang menampung umat beragama dalam rangka melaksanakan praktik
agamanya, seperti KWI, Majelis Taklim, Paroki dan PGI.
Ø Pengalaman
Keagamaan.
[1] Kun Maryati dan Juju Suryawati.
2007. Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XII. Jakarta. Gelora Aksara Pratama. Hal
: 70
[2] R.E.M. Soerjanegara dan dkk.
1995. Sosiologi untuk SMU. Bandung. Angkasa. Hal : 217
[3] Drs. Sanapiah
Faisal.1981.Pengantar Dasar – dasar Kependidikan.Surabaya. Usaha Nasional. Hal
: 146
[4]R.E.M.Soerjanegara dan dkk. 1995.
Sosiologi untuk SMU. Bandung. Angkasa. Hal : 213
[5] Kun Maryati dan Juju Suyawati.
2007. Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XII. Jakarta. Gelora Aksara Pratama. Hal
: 71
[6] Ibid. Hal : 72
[7] Munandar Soelaeman. 1993. Ilmu
Sosial Dasar. Bandung. Pt Eresco. Hal : 226 - 229
[8] Kun Maryati dan Juju
Suryawati.2007.Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XII.Jakarta.Gelora Aksara
Pratama.Hal : 80 - 81