Jumat, 03 Mei 2013

Filsafat Pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Metafisika dapat di definisikan sebagai studi mengenai karakteristik – karakteristik yang sangat umum dan pa;ing dasar dari kenyataan yang sebenarnya ( ultimate reality ). Metafisika menguji aspek – aspek kenyataan seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada ( being ), eksistensi, perubahan, substansi dan sifat, aktual dan potensial da sebagainya.
Metafisika pada asasnya meneliti perbedaan antara penampakan dan kenyataan. Karena benda – benda tidak sepenuhnya tampak sebagaimana adanya, maka tugas metafisika adalah untuk mengungkapkan apa yang ada di dasar pengalaman kita atau kenyataan apa yang sesungguhnya tersembunyi di belakang penampakkan indera kita. Ada sejumlah aliran yang coba mengungkapkan hakikat kenyataan di balik penampakkan tersebut. Misalnya, idealisme dan personalisme menyatakan bahwa kenyataan yang paling mendasar sesungguhnya serupa atau berhubungan dengan kesadaran manusia. Materialisme dan naturalisme percaya bahwa kenyataan yang paling dasar pada prinsifnya sama dengan peristiwa material dan natural. Mekanisme meyakini bahwa kenyataan yang kita alami pada dasarnya ditentukan atau digerakkan secara kebetulan dan berjalan seperti mesin. Organisme atau vitalisme percaya bahwa kenyataan yang sesungguhnya bisa diibaratkan ( dimetaforkan ) seperti organisme yang hidup.[1]
Sejarah pengetahuan manusia menunjukkan, bahwa didalam proses mendapatkan pengetahuan, manusia tampaknya tak henti – hentinya berusaha untuk menyatukan berbagai fakta dan gejala yang beragam kedalam suatu kesatuan. Mereka membawa fakta – fakta yang beragam dan tersebar kedalam satu kesatuan sistem yang kehoren, menyeluruh dan cerdas. Puncak dari kebutuhan untuk menyatukan semua hal kedalam satu kesatuan itu ada pada metafisika.
1.2.Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari metafisika ?
2.      Bagaimana sejarah kelahiran metafisika tersebut ?
3.      Bagaimana urgensi  kajian metafisika dalam filsafat ilmu tersebut ?
4.      Apa saja cabang – cabang dari metafisika itu ?
1.3.Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa itu yang di maksud dengan  metafisika.
2.      Supaya kita memahami dan mengerti tentang sejarah kelahiran metafisika itu seperti apa.
3.      Supaya kita mengetahui bagaimana urgensi  kajian metafisika dalam filsafat ilmu itu seperti apa.
4.      Untuk mengetahui dan memahami tentang apa saja yang ter masuk kedalam metafisika tersebut.
















BAB II
URGENSI  METAFISIKA DALAM KAJIAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
2.1.Pengertian Metafisika[2]
Metafisika berasal dari bahasa Yunani yang kata dasarnya terambil dari kata meta dan physika. Meta berarti sesudah sesuatu atau di balik sesuatu. Sedangkan physika berarti nyata, kongkrit, dapat dilihat, diraba dan diserap oleh panca indera. Physika dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang keberadaannya dapat dijangkau oleh panca indera. Atas pengertian tersebut, maka metafisika dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang sesuatu dibalik yang fisik atau sesuatu sesudah yang fisik.
M.J. Langeveld ( tt: 132 ) menyebut metafisika sebagai ilmu yang mengkaji tentang teori keadaan. Ia mengutif pendapat Nicolai Hartmann yang mengartikan metafisika sebagai :
Ø  Tempat khusus yang diperuntukkan bagi objek – objek transenden, daerah spekulatif bagi tanggapan – tanggapan tentang Tuhan, kebebasan dan jiwa.
Ø  Metafisika dapat diartikan sebagai pangkalan bagi sistem – sistem spekulatif, teori – teori dan tanggapan dunia terhdap sesuatu.
Jika pengertian diatas dijadikan landasan dalam memahami kata metafisika, maka pengertian umum yang dikandung dari kata metafisika adalah kajian yang membahas tentang sesuatu yang berada dibalik yang fisik atau kajian terhadap sesuatu yang eksistensinya berada sesudah yang fisik ( nyata ).
2.2. Sejarah Kelahiran Metafisika
Menurut Jean Hendrik ( 1996 : 44 )[3] istilah metafisika untuk pertama kali di populerkan oleh Andronicos dari Rhodes sekitar tahun 70 SM. Ia telah menafsirkan karya – karya Aristoteles tersusun sesudah ( meta ) buku physika. Oleh karena itu, menurut Hendrik metafisika dapat diartikan sebagai filsafat kedua untuk fisika. Disebut demikian, karena kajian ini lahir setelah berbagai kajian fisika digelutinya.
Anton Bakker ( 1992 : 15 ) menyebut bahwa istilah metafisika sebenarnya sudah berkembang jauh dari sebelum Andronicos memunculkan gagasannya. Ia menyebut bahwa metafisika sudah berkembang sejak abad ketiga sebelum masehi. Menurut Bakker, metafisika pada awalnya biasa dipakai untuk berbicara mengenai masalah – masalah yang lebih fundamental, mendalam dan substansif dalam berbagai lingkup kehidupan. Oleh karena itu, ketika sebuah judul muncul dengan istilah metafisika, maka ini berarti telah menunjukkan bagian filsafat yang harus dikaji setelah physika ( filsafat alam – dunia ).
Pemikiran Bakker dan Hendrik tampaknya sama dalam memahami tokoh penting dibalik lahirnya istilah metafisika. Mereka sependapat bahwa yang melahirkan istilah metafisika adalah Aristoteles, murid cerdas Plato yang sering bertentangan dengan gurunya dalam memahami bidang ini. Kenapa disebut murid cerdas ? sebab tokoh yang satu ini bukan saja mampu memahami pikiran gurunya, Plato, tetapi ia juga mampu mengembangkan dan melahirkan teori baru yang lebih praktis dan bahkan bertentangan dengan pemikiran gurunya. Namun harus diakui bahwa melalui pemikiran Aristoteles, filsafat terasa lebih hidup dibanding dengan pengaruh pemikiran Plato.
Contoh kongkrit atas kecerdasan Aristoteles adalah ketika ia mengembangkan pemikiran Plato tentang keadaan atau eksistensi sesuatu. Bagi Plato, eksistensi itu dapat dibagi pada kenyataan, yaitu kenyataan fisik yang empiris dan kenyataan yang membelakanginya dan bersifat non fisik yang kemudian saya sebut metafisik. Pemikiran Plato tadi kemudian dikembangkan Aristoteles yang hasilnya justru mengejutkan karena jauh sekali perbedaannya dengan apa yang digagas gurunya. Aristoteles lebih menitikberatkan pada aspek “dunia fisik” sebagai yang sebenarnya keadaan. Bagi Aristoteles, semua eksistensi terjadi karena dinamika eksistensi itu sendiri. Ia berdiri dalam kemandiriannya dan terus menerus mengalami perkembangan dan tidak ada sesuatu yang non fisik dibalik yang fisik itu. Aristoteles ingin mengetahui kenyataan yang sungguh – sungguh terhadap berbagai kenyataan empiris. Sementara itu, Plato masih tetap memberi keseimbangan antara adanya kenyataan yang bersifat fisik dan keadaan yang berada dibalik yang fisik.
Berpijak dari kerangka teoritis diatas, maka istilah metafisika tampaknya memang bukan istilah yang dipakai Aristoteles. Apa lagi ia menggunakannya untuk kepentingan substansi kajian. Sebab Ariatoteles ternyata lebih suka menyebut proto phyloshopia ( filsafat pertama ) dibanding dengan menggunakan istilah metafisika. Lalu jika demikian masalahnya, kenapa para ahli filsafat sering menyandingkan metafisika dengan Aristoteles ? kondisi ini dipengaruhi oleh adanya kajian dalam filsafat Aristoteles tentang sesuatu yang berada dibalik gejala – gejala fisik, seperti bergerak, berubah, hidup dan mati. Meski Aristoteles tetap berkeyakinan bahwa berbagai gejala dinamik tadi, terjadi karena dialektika fisik yang tampak. Bukan karena digerakkan oleh sesuatu di balik yang fisik.
Istilah lain yang digunakan Aristoteles selain proto phyloshopia dalam mengartikan hakekat sesuatu adalah :
Ø  Filsafat pertama ( First Philosophy )
Ø  Pengetahuan sebab akibat ( Know Ledge of Cause )
Ø  Studi tentang ada sebagai ada ( The Studi of Being as Being )
Ø  Studi tentang hal – hal abadi yang tidak dapat digerakkan ( The Studi of The Enternal and Immovable )
Ø  Theology, suatu ilmu yang membincangkan tentang Tuhan serta bagaimana manusia harus berhadapan dengan Tuhan.
2.3. Urgensi Metafisika dalam Kajian Filsafat Ilmu Pengetahuan[4]
Metafisika dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam ( ultimate nature ) dari keadaan atau kenyataan yang tampak nyata dan variatif. Melalui pengkajian dan penghayatan terhadap metafisika, manusia akan dituntun pada jalan dan penumbuhan moralitas hidup. Oleh karena itu, tidak salah jika K. Bertens ( 1975 : 154 ) menyebut metafisika sebagai kebijaksanaan ( shopia ) tertinggi. Mengapa disebut demikian ? karena ilmu ini akan membawa manusia pada pencapaian prinsif dan penyebab tertinggi yang melatarbelakangi lahir dan munculnya seluruh eksistensi yang tampak. Termasuk didalam eksistensi manusia yang sudah lama lupa dan mengasingkan bahkan membuang eksistensi tertinggi dalam hingar bingar kehidupan.
Dari kajian terhadap metafisika diharapkan akan diperoleh kebijaksanaan yang paling prinsif dan paling fundamental. Sebab melalui kajian metafisika, penyebab pertama ( penyebab, efesien, final dan material formal ) dari segala yang akan dikaji. Melalui kajian ini, manusia diharapkan dapat kembali kepada fitrah dasarnya sebagai hamba Allah yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam berbagai sisi kehidupan.
Hubungan metafisika dengan filsafat ilmu, keduanya dapat di ibaratkan seperti hubungan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan meski gampang di bedakan. Kepentingan filsafat ilmu untuk membincangkan persoalan metafisika lebih disebabkan karena hampir tidak ada satu ilmu pun yang terlepas dari metafisika. Bahkan dalam banyak hal, ilmu dan pengkaji ilmu ( ilmuwan ) yang kering makna metafisik akan akibat pada keringnya makna ilmu tersebut ( dimaksud ).
Jujun S. Suriasumantri ( 1982 : 69 – 70 )[5] mengemukakan bahwa ilmu adalah sebagai sesuatu yang akan menafsirkan alam dan segala dinamiknya tidak selalu harus sesuai dengan apa adanya. Atau tidak selalu sesuai dengan apa yang dilihat, diraba dan diserap. Sebab jika ilmu hanya sebatas itu, akan terjadi proses pendangkalan terhadap ilmu itu sendiri.
Bagi ilmuan yang berfaham materialisme, memahami aspek lain di luar benda terwujud, tentu tidak mungkin mempercayai adanya sesuatu dibalik yang terwujud. Ia dengan sekuat tenaga akan mencari berbagai penemuan sesuai dengan standar dasar kefilsafatannya yang dianutnya tadi, yakni materi atau sesuatu yang dapat dirasa dan diserap. Ilmuwan yang menganut faham iniakan membatasi alam sebagai objek ilmu pada lingkup pengalaman yang bersifat rasional – empiris atau sebaliknya. Oleh karena itu, bagi kelompok ini, ilmu tidak berpaling pada perasaan tetapi terfokus pada objek – objek yang bersifat kongkrit, nyata dan rasional. Secara ontologi, ilmuwan jenis ini, akan membatasi hakekat keilmuan dalam jangkauan pengalaman manusia semata. Ia tidak berani menerobos dinding kekuasaan keilmuan diluar batas tadi. Oleh karena itu, tidak heran juga jika dalam perspektif ini, sebetapapun sistematisnya ilmu kalam atau ilmu teologi, kajian ini tidak akan disebut sebagai ilmu, karena yang dihadapinya bukan dunia nyata. Padahal standarisasi keilmuan kaum materialis selalu akan menerapkan atau menempatkan ilmu hanya untuk mencari jawaban terhadap masalah – masalah dunia yang nyata. Ilmu diawali dengan fakta dan dianggapnya harus diakhiri dengan fakta pula.
Berbeda dengan ilmuwan yang berfaham idealisme, yaitu usaha untuk mencari tahu tentang berbagai informasi yang ada dalam objek empiris rasional itu, tentu saja akan dibarengi dengan mencoba melakukan kajian ulang dalam perspektif yang agak berbeda. Ia menyadari akan keterbatasan dirinya sebagai manusia dan mengakui kehadiran suatu Dzat yang maha besar dibalik berbagai realitas yang ada. Manusia dituntut hanya untuk memberikan pengertian dan pendalaman terhadap objek materil yang terlihat.
Selain kegunaan metafisika dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan sebagaimana dijelaskan diatas, ada juga beberapa peran yang diperoleh ilmu pengetahuan melalui kajian terhadap metafisika. Diantaranya peran – peran itu adalah :
Ø  Metafisika mengajarkan tetang cara berfikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Ø  Metafisika menuntut originalitas berfikir yang sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan.
Ø  Metafisika memberi bahan pertimbangan yang matang bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pada wilayah pra anggapan – pra anggapan, sehingga persoalan yang diajukan memiliki landasan berpijak yang kuat.
Ø  Metafisika membuka peluang bagi terjadinya perbedaan visi dalam melihat realita, karena tidak ada kebenaran yang benar – benar absolut.
Memperhatikan demikian kompleksnya kegunaan kajian metafisika jika dihubungkan dengan ilmu pengetahuan atau pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan, maka metafisika dapat membantu ilmuwan untuk menunjukkan asumsi – asumsi metafisis yang diperlukan bagi pengembangan dan pembentukkan teori atau paradigma ilmu pengetahuan. Ia menuntut secra berkelanjutan terhadap sejumlah pengetahuan yang telah berhasil ditemukannya untuk terus dilakukan pengkajiannya. Jika ini terjadi, maka metafisika dapat membantu ilmuwan untuk meneruskan ciri dan sifat ilmu yang menuntut adanya tindak lanjut melalui observasi dan penelitian lanjutan yang juga sulit berkesudahan. Kecuali dunia ini benar – benar musnah dan tidak ada lagi penghuni yang bernama manusia.
2.4. Metafisika dan Pencabangannya
Secara umum metafisika dapat di bagi menjadi metafisika umum dan metafisika khusus. Pembagian dan pencabangan ini harus pula ditambahkan pada ketergantungan pemahaman dan aliran yang dipakai oleh masing – masing filosof dan saintis. Sebab bisa jadi, satu pencabangan diterima oleh suatu aliran dan secara otomatis ditolak oleh aliran yang lain. Begitupun sebaliknya. Meski demikian, ada beberapa cara yang bisa kita pakai untuk melihat pencabangan metafisika yang ada meski tidak otomatis lazim dalam pengkajian filsafat ilmu. Pencabangan dimaksud adalah metafisika umum dan metafisika khusus.
Metafisika umum secara umum memiliki pencabangan yang juga banyak. Di antara cabang dari aliran ini yaitu Idealisme, Materialisme dan Naturalisme. Sementara itu, yang termasuk dalam metafisika khusus yaitu Kosmologi,Teologi Metafisikadan Filsafat Antropologi.
v  Metafisika Umum
Metafisika umum sering juga diistilahkan dengan kata ontologi. Oleh karena itu, tidak salah jika ada yang menyebut ontologi sama dengan metafisika. Istilah ini sering diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang hakekat sesuatu. Pengistilahan metafisika yang sama maknanya dengan ontologi dilatarbelakangi oleh terdapatnya kesamaan antara makna metafisika dengan makna ontologi. Kesamaan itu terletak pada fokus pengkajian di mana baik ontologi maupun metafisika sama – sama mengkaji tentang eksistensi atau hakekat sesuatu dilihat dari makna substansifnya.[6]
Metafisika umum ini terbagi kedalam tiga aliran yaitu :
a.      Naturalisme
Naturalisme adalah suatu faham yang memandang bahwa apa yang dinamakan kenyataan adalah segala sesuatu yang bersifat kealaman.William R. Dennes beranggapan bahwa kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan adalah “kejadian” yang terjadi dan terdapat dalam alam. Kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan – satuan yang menyusun kenyataan yang ada. Hanya satuan – satuan semacam itu lah yang menjadi satu – satunya penyusun dasar bagi segenap atau segala sesuatu yang ada.
Secara historis, faham naturalisme lahir beriringan dengan lahirnya sejumlah filosof awal di Yunani. Tokoh penting yang terlibat dan mengembangkan faham ini adalah filosof yang landasan kajiannya menitikberatkan pada alam sebagai unsur kajian utama. Sebut saja tokoh yang dimaksud yaitu Thales, Anaximenes, Anaximandros, Phytagoras dan Heraclitus.
Bagi kaum naturalis, selalu muncul tiga persoalan penting dalam wacana pemikiran kefilsafatan. Ketiga persoalan itu adalah Proses, Kualitas dan Relasi. Oleh karena itu, kaum naturalis berpendirian bahwa :
·         Ketiga kategori dasar ( proses, kualitas dan relasi ) yang mereka gunakan menunjukkan segala hal yang bereksistensi dan terdapat dalam pengalaman.
·         Tidak ada satu kejadian didalamnya tidak secara bersama terdapat ketiga kategori tersebut, meskipun segi – segi tadi dapat dipilah berdasarkan satu pemilahan yang beralasan.
·         Mereka dapat menunjukkan kejadian – kejadian yang segi – seginya menggunakan istilah kategori yang disebut diatas. Karena alasan itu, mereka kemudian mengembangkan tafsiran mengenai pengertian – pengertian, hipotesa – hipotesa, hukum –hukum dan penelitian yang dikembangkan dalam ilmu alam, penyelidikan sejarah dan dalam tanggapan – tanggapan di bidang seni dan kesusastraan.
b.      Idealisme
Aliran ini dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedangkan spiritualisme berarti serba roh. Aliran ini menganggap bahwa hakikat kenyataannya yang beraneka warna ini semua berasal dari roh ( sukma ) atau yang sejenis dengan itu. Pokoknya sesuatu yang tidak berbentuk dan materi atau dzat itu hanyalah suatu dari jenis penjelmaan rohani.[7]
Aliran ini menyatakan bahwa yang sesungguhnya ada dalam dunia adalah “idea”. Segala sesuatu yang tampak dalam wujud nyata indrawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya. Sebab sejatinya keberadaan adalah sesuatu yang berda dalam dunia idea. Realitas yang sesungguhnya bukan pada sesuatu yang kelihatan, melainkan justru pada sesuatu yang tidak terlihat dan tidak tampak.
c.       Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa yang ada hanyalah materi. Adapun segala sesuatu yang lainnya berupa jiwa atau roh tidak merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa atau roh itu menurut Faham materialisme hanyalah sebagai akibat saja dari proses gerakkan kebendaan dengan salah satu cara tertentu.[8]
Secara historis pelopor yang melahirkan faham ini tampaknya dapat disandingkan kepada tokoh semacam Leukippos dan Democritos ( 460 – 370 SM ). Kedua filosof awal ini, dapat disebut sebagai cermin filosof awal yang membangun teori materialisme. Leukippos dan Democritos berpendapat bahwa “ relitas yang sesungguhnya bukan cuma satu, melainkan terdiri dari banyak unsur “. Unsur – unsur itu sendiri tidak terbagi yang kemudian disebutnya sebagai “atom” ( terambil dari bahasa Yunani ) yang berarti “tidak dapat dibagi”.
v  Metafisika Khusus[9]
Metafisika Khusus adalah cabang filsafat yang mengkaji dan membicarakan tentang alam, Tuhan dan manusia. Persoalan eksistensi ketiga persoalan inilah yang telah menjadi dialektika menarik sejak awal kelahiran filsafat di Yunani Kuna hingga era modern sekarang ini.
Secara sederhana, setidaknya ada tiga pokok soal yang menjadi kajian dalam metafisika khusus. Ketiga bidang kajian tersebut yaitu Kosmologi, Teologi Metafisika dan Filsafat Antropologi.
a.      Kosmologi
Kosmologi berasal dari kata cosmos dan logy ( B. Yunani ). Kata cosmos secara sederhana dapat diartikan ketertiban, keteraturan sehingga dalam istilah Yunani dikenal juga alam yang teleleologis. Artinya, alam berkembang dan berjalan dalam ritme yang sangat teratur. Sedangkan kata logy ( logos ) yaitu percakapan atau ilmu. Dengan demikian, Kosmologi adalah yang membahas tentang alam fisik atau jagad raya ( cosmos ). Pengertian tadi, dapat pula disebutkan bahwa kosmologi menjadikan jagad raya sebagai objek utama penyelidikkannya.
Kosmologi memandang alam sebagai suatu totalitas fenomena dan berupaya memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah dalam suatu kerangka yang koheren. Persoalan yang sering dibahas dalam aliran ini adalah mengenai ruang, waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan – kemungkinan dan keabadian. Metode yang digunakannya bersifat rasional. Secara sederhana, kosmologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakekat atau asal usul alam semesta. Berhubungan dengan konsep itu, maka kosmologi merupakan tempat persemaian bagi apa saja yang ada, karena ruang dan waktu merupakan keadaan yang nyata dan yang paling dalam. ( Louis O. Kattsoff, 1982 : 260).
Kosmologi membagi alam pada dua jenis penyelidikkan, yaitu :
·         Alam fisika dijadikan sebagai objek penyelidikkan kefilsafatan. Istilah – istilah pokok yang terdapat dalam fisika, misalnya ruang dan waktu.
·         Pra anggapan yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagad raya.
b.      Teologi Metafisika
Aliran ini mengkaji eksistensi Tuhan yang bebas dari ikatan agama. Eksistensi atau perwujudan Tuhan dibahas secara rasional dalam perspektif kefilsafatan dan sekuat mungkin melepaskan diri dari pendekatan teologi seperti selama lazim digunakan kaum agamawan. Konsekuensi atas dibahasnya Tuhan dalam Perspektif tadi, maka ia telah menjadi objek sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan melalui metode ilmiah dengan pendekatan ilmiah dan filsafat. Tuhan dilepaskan dari dokrin – dokrin agama. dan jika Tuhan dilepaskan dari kepercayaan agama, hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh tentang – Nya dapat berupa :
·         Tuhan tidak ada, karena sistem kefilsafatan sejak zaman Yunani sampai pada era Barat modern, masih mengandalkan sumber kebenaran berasal dari faham empiris dan rasional.
·         Sulit menemukan kepastian ada atau tidak adanya Tuhan, karena sekalipun rasionalisme merupakan sumber pengetahuan, tetapi tidak akan mampu menunjukkan dalam fakta yang empirik.
·         Tuhan ada tanpa dapat dibuktikan secara rasional. Ia hadir dalam imajinasi manusia dan sulit memperoleh pembuktian rasional. Dalam perspektif ini, Tuhan diwujudkan dan dihadirkan serta diciptakan oleh manusia. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusia yang menciptakan Tuhan.
·         Tuhan ada dengan bukti rasional. Kelompok ini, menganggap meski Tuhan terwujud dalam bentuk yang non fisik, manusia dapat meyakini kebenaran – Nya melalui kresi – Nya berupa alam dunia ini, serta berbagai keteraturan yang terdapat didalamnya. Dan hasil yang terakhir inilah, ciri khas filsafat yang menciba memadukan aspek empirik – rasional dan kehadiran sesuatu yang metafisis dengan pembuktian rasional atau melalui pertimbangan – pertimbangan rasional.
Di abad yang modern ini, filsafat metafisik – teologi juga tetap diakui keberadaannya. Sigmund Freud ( 1856 – 1939 M ), meski ia sangat terkenal materialisme dan pengagum faham positivisme, tetap juga keberadaan filsafat metafisik – teologi ini dalam kehidupan manusia. Freud menyatakan bahwa kehadiran Tuhan sangat penting bagi manusia. Meskipun Tuhan sulit di cerna manusia melalui proses indrawi dan rasionalitasnya, Tuhan selalu tetap ada dan menjumpai manusia. Kehadiaran Tuhan, menurut Freud serendahnya berguna bagi manusia dalam tiga persoalan.
Ketiga persoalan yang membutuhkan Tuhan itu, adalah :
·         Tuhan harus di anggap sebagai penguasa alam.
·         Keyakinan agamis memperdamaikan manusia dengan nasibnya yang mengerikan, terutama kematian.
·         Tuhan memelihara dan menjaga agar ketentuan – ketentuan dan peraturan kultur akan dilaksanakan manusia.
Selain itu, filsafat metafisik – teologi juga telah menempatkan Tuhan sebagai pusat segala sesuatu yang berada dibalik keaneka ragaman wujud alam ini.
c.       Filsafat Antropologi
Filsafat antropologi adalah cabang dari metafisika khusus untuk membicarakan tentang manusia. Plato ( 428 – 348 SM ) membagi manusia menjadi dua bagian, yaitu yang pertama bagian tubuh dan yang kedua bagian jiwa. Tubuh menurut Plato adalah musuh jiwa. Berbagai kejahatan dilakukan oleh tubuh manusia dan sebenarnya selalu ditolak oleh jiwa. Jiwa yang terdapat dalam tubuh seseorang persis seperti penjara. Jiwa sendiri menurut Plato dibagi menjadi tiga bagian, yaitu nous ( akal ), thumos ( semangat ) dan epithumia ( nafsu ). Karena terpengaruh oleh nafsu, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh. Kematian dianggapnya sebagai upaya pemerdekaan jiwa dari tubuh manusia.[10]




BAB III
PENUTUP
Ø  Kesimpulan
Metafisika adalah ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu dari alam nyata dengan tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera saja atau bagian filsafat yang memusatkan perhatiannya pada pertanyaan mengenai akar terdalam yang mendasari segala adanya kita.
Metafisika dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam ( ultimate nature ) dari keadaan atau kenyataan yang tampak nyata dan variatif.Dari kajian terhadap metafisika diharapkan akan diperoleh kebijaksanaan yang paling prinsif dan paling fundamental. Sebab melalui kajian metafisika, penyebab pertama ( penyebab, efesien, final dan material formal ) dari segala yang akan dikaji. Melalui kajian ini, manusia diharapkan dapat kembali kepada fitrah dasarnya sebagai hamba Allah yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam berbagai sisi kehidupan.
Metafisika dibagi kedalam dua bagian, yaitu :
1.      Metafisika Umum
2.      Metafisika Khusus
Dimana metafisika umum, meliputi :
1.      Naturalisme
2.      Idealisme
3.      Materialisme
Sedangkan metafisika khusus, meliputi :
1.      Kosmologi
2.      Teologi Metafisika
3.      Filsafat Antropologi.


DAFTAR PUSTAKA
·         Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung : Mulia Press.
·         Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
·         Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : PT Bumi Aksara.
·         Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.


[1] Dr. Zainal Abidin. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Hal : 58.
[2] Drs. Cecep Sumarna, M.Ag. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai. Bandung. Pustaka Bani Quraisy. Hal : 61 – 62.
[3]Ibid. Hal : 62 – 64.
[4] Drs. Cecep Sumarna, M.Ag. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung. Mulia Press. Hal : 73.
[5] Ibid.
[6] Drs. Cecep Sumarna, M.Ag.2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai. Bandung. Pustaka Bani Quraisy. Hal : 74 – 75.
[7] Drs.Surajiyo.2005.Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.Jakarta.PT Bumi Aksara.Hal : 125.
[8] Ibid.Hal : 125
[9]Drs.Cecep Sumarna, M.Ag.2006.Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai.Bandung.Pustaka Bani Quraisy. Hal : 81.
[10]Ibid. Hal : 87.

0 komentar:

Posting Komentar