PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Metafisika
dapat di definisikan sebagai studi mengenai karakteristik – karakteristik yang
sangat umum dan pa;ing dasar dari kenyataan yang sebenarnya ( ultimate reality
). Metafisika menguji aspek – aspek kenyataan seperti ruang dan waktu,
kesadaran, jiwa dan materi, ada ( being ), eksistensi, perubahan, substansi dan
sifat, aktual dan potensial da sebagainya.
Metafisika
pada asasnya meneliti perbedaan antara penampakan dan kenyataan. Karena benda –
benda tidak sepenuhnya tampak sebagaimana adanya, maka tugas metafisika adalah
untuk mengungkapkan apa yang ada di dasar pengalaman kita atau kenyataan apa
yang sesungguhnya tersembunyi di belakang penampakkan indera kita. Ada sejumlah
aliran yang coba mengungkapkan hakikat kenyataan di balik penampakkan tersebut.
Misalnya, idealisme dan personalisme menyatakan bahwa kenyataan yang paling
mendasar sesungguhnya serupa atau berhubungan dengan kesadaran manusia.
Materialisme dan naturalisme percaya bahwa kenyataan yang paling dasar pada
prinsifnya sama dengan peristiwa material dan natural. Mekanisme meyakini bahwa
kenyataan yang kita alami pada dasarnya ditentukan atau digerakkan secara
kebetulan dan berjalan seperti mesin. Organisme atau vitalisme percaya bahwa
kenyataan yang sesungguhnya bisa diibaratkan ( dimetaforkan ) seperti organisme
yang hidup.[1]
Sejarah
pengetahuan manusia menunjukkan, bahwa didalam proses mendapatkan pengetahuan,
manusia tampaknya tak henti – hentinya berusaha untuk menyatukan berbagai fakta
dan gejala yang beragam kedalam suatu kesatuan. Mereka membawa fakta – fakta
yang beragam dan tersebar kedalam satu kesatuan sistem yang kehoren, menyeluruh
dan cerdas. Puncak dari kebutuhan untuk menyatukan semua hal kedalam satu
kesatuan itu ada pada metafisika.
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari metafisika ?
2. Bagaimana
sejarah kelahiran metafisika tersebut ?
3. Bagaimana
urgensi kajian metafisika dalam filsafat
ilmu tersebut ?
4. Apa
saja cabang – cabang dari metafisika itu ?
1.3.Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui apa itu yang di maksud dengan
metafisika.
2. Supaya
kita memahami dan mengerti tentang sejarah kelahiran metafisika itu seperti
apa.
3. Supaya
kita mengetahui bagaimana urgensi kajian
metafisika dalam filsafat ilmu itu seperti apa.
4. Untuk
mengetahui dan memahami tentang apa saja yang ter masuk kedalam metafisika
tersebut.
BAB II
URGENSI METAFISIKA DALAM KAJIAN FILSAFAT ILMU
PENGETAHUAN
2.1.Pengertian
Metafisika[2]
Metafisika
berasal dari bahasa Yunani yang kata dasarnya terambil dari kata meta
dan physika.
Meta berarti sesudah sesuatu atau di
balik sesuatu. Sedangkan physika
berarti nyata, kongkrit, dapat dilihat, diraba dan diserap oleh panca indera. Physika dapat juga diartikan sebagai
sesuatu yang keberadaannya dapat dijangkau oleh panca indera. Atas pengertian
tersebut, maka metafisika dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang
sesuatu dibalik yang fisik atau sesuatu sesudah yang fisik.
M.J.
Langeveld ( tt: 132 ) menyebut metafisika sebagai ilmu yang
mengkaji tentang teori keadaan. Ia mengutif pendapat Nicolai Hartmann yang
mengartikan metafisika sebagai :
Ø Tempat
khusus yang diperuntukkan bagi objek – objek transenden, daerah spekulatif bagi
tanggapan – tanggapan tentang Tuhan, kebebasan dan jiwa.
Ø Metafisika
dapat diartikan sebagai pangkalan bagi sistem – sistem spekulatif, teori –
teori dan tanggapan dunia terhdap sesuatu.
Jika pengertian diatas dijadikan
landasan dalam memahami kata metafisika, maka pengertian umum yang dikandung
dari kata metafisika adalah kajian yang membahas tentang sesuatu yang
berada dibalik yang fisik atau kajian terhadap sesuatu yang eksistensinya
berada sesudah yang fisik ( nyata ).
2.2. Sejarah Kelahiran
Metafisika
Menurut
Jean Hendrik ( 1996 : 44 )[3]
istilah metafisika untuk pertama kali di populerkan oleh Andronicos dari Rhodes
sekitar tahun 70 SM. Ia telah menafsirkan karya – karya Aristoteles tersusun
sesudah ( meta ) buku physika. Oleh karena itu, menurut Hendrik metafisika
dapat diartikan sebagai filsafat kedua untuk fisika. Disebut demikian, karena
kajian ini lahir setelah berbagai kajian fisika digelutinya.
Anton
Bakker ( 1992 : 15 ) menyebut bahwa istilah metafisika sebenarnya sudah
berkembang jauh dari sebelum Andronicos memunculkan gagasannya. Ia menyebut
bahwa metafisika sudah berkembang sejak abad ketiga sebelum masehi. Menurut
Bakker, metafisika pada awalnya biasa dipakai untuk berbicara mengenai masalah
– masalah yang lebih fundamental, mendalam dan substansif dalam berbagai
lingkup kehidupan. Oleh karena itu, ketika sebuah judul muncul dengan istilah
metafisika, maka ini berarti telah menunjukkan bagian filsafat yang harus
dikaji setelah physika ( filsafat alam – dunia ).
Pemikiran
Bakker dan Hendrik tampaknya sama dalam memahami tokoh penting dibalik lahirnya
istilah metafisika. Mereka sependapat bahwa yang melahirkan istilah metafisika
adalah Aristoteles, murid cerdas Plato yang sering bertentangan dengan gurunya
dalam memahami bidang ini. Kenapa disebut murid cerdas ? sebab tokoh yang satu
ini bukan saja mampu memahami pikiran gurunya, Plato, tetapi ia juga mampu
mengembangkan dan melahirkan teori baru yang lebih praktis dan bahkan
bertentangan dengan pemikiran gurunya. Namun harus diakui bahwa melalui
pemikiran Aristoteles, filsafat terasa lebih hidup dibanding dengan pengaruh
pemikiran Plato.
Contoh
kongkrit atas kecerdasan Aristoteles adalah ketika ia mengembangkan pemikiran
Plato tentang keadaan atau eksistensi sesuatu. Bagi Plato, eksistensi itu dapat
dibagi pada kenyataan, yaitu kenyataan fisik yang empiris dan kenyataan yang
membelakanginya dan bersifat non fisik yang kemudian saya sebut metafisik.
Pemikiran Plato tadi kemudian dikembangkan Aristoteles yang hasilnya justru
mengejutkan karena jauh sekali perbedaannya dengan apa yang digagas gurunya.
Aristoteles lebih menitikberatkan pada aspek “dunia fisik” sebagai yang
sebenarnya keadaan. Bagi Aristoteles, semua eksistensi terjadi karena dinamika
eksistensi itu sendiri. Ia berdiri dalam kemandiriannya dan terus menerus
mengalami perkembangan dan tidak ada sesuatu yang non fisik dibalik yang fisik
itu. Aristoteles ingin mengetahui kenyataan yang sungguh – sungguh terhadap
berbagai kenyataan empiris. Sementara itu, Plato masih tetap memberi
keseimbangan antara adanya kenyataan yang bersifat fisik dan keadaan yang
berada dibalik yang fisik.
Berpijak
dari kerangka teoritis diatas, maka istilah metafisika tampaknya memang bukan
istilah yang dipakai Aristoteles. Apa lagi ia menggunakannya untuk kepentingan
substansi kajian. Sebab Ariatoteles ternyata lebih suka menyebut
proto phyloshopia ( filsafat pertama ) dibanding dengan menggunakan
istilah metafisika. Lalu jika demikian masalahnya, kenapa para ahli filsafat
sering menyandingkan metafisika dengan Aristoteles ? kondisi ini dipengaruhi
oleh adanya kajian dalam filsafat Aristoteles tentang sesuatu yang berada
dibalik gejala – gejala fisik, seperti bergerak, berubah, hidup dan mati. Meski
Aristoteles tetap berkeyakinan bahwa berbagai gejala dinamik tadi, terjadi
karena dialektika fisik yang tampak. Bukan karena digerakkan oleh sesuatu di
balik yang fisik.
Istilah
lain yang digunakan Aristoteles selain proto phyloshopia dalam mengartikan
hakekat sesuatu adalah :
Ø Filsafat
pertama ( First Philosophy )
Ø Pengetahuan
sebab akibat ( Know Ledge of Cause )
Ø Studi
tentang ada sebagai ada ( The Studi of Being as Being )
Ø Studi
tentang hal – hal abadi yang tidak dapat digerakkan ( The Studi of The Enternal
and Immovable )
Ø Theology,
suatu ilmu yang membincangkan tentang Tuhan serta bagaimana manusia harus berhadapan
dengan Tuhan.
2.3. Urgensi Metafisika
dalam Kajian Filsafat Ilmu Pengetahuan[4]
Metafisika
dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau
terdalam ( ultimate nature ) dari keadaan atau kenyataan yang tampak nyata dan
variatif. Melalui pengkajian dan penghayatan terhadap metafisika, manusia akan
dituntun pada jalan dan penumbuhan moralitas hidup. Oleh karena itu, tidak
salah jika K. Bertens ( 1975 : 154 )
menyebut metafisika sebagai kebijaksanaan ( shopia ) tertinggi. Mengapa disebut
demikian ? karena ilmu ini akan membawa manusia pada pencapaian prinsif dan
penyebab tertinggi yang melatarbelakangi lahir dan munculnya seluruh eksistensi
yang tampak. Termasuk didalam eksistensi manusia yang sudah lama lupa dan
mengasingkan bahkan membuang eksistensi tertinggi dalam hingar bingar
kehidupan.
Dari
kajian terhadap metafisika diharapkan akan diperoleh kebijaksanaan yang paling
prinsif dan paling fundamental. Sebab melalui kajian metafisika, penyebab
pertama ( penyebab, efesien, final dan material formal ) dari segala yang akan
dikaji. Melalui kajian ini, manusia diharapkan dapat kembali kepada fitrah
dasarnya sebagai hamba Allah yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam
berbagai sisi kehidupan.
Hubungan
metafisika dengan filsafat ilmu, keduanya
dapat di ibaratkan seperti hubungan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan
meski gampang di bedakan. Kepentingan filsafat ilmu untuk membincangkan
persoalan metafisika lebih disebabkan karena hampir tidak ada satu ilmu pun yang
terlepas dari metafisika. Bahkan dalam banyak hal, ilmu dan pengkaji ilmu (
ilmuwan ) yang kering makna metafisik akan akibat pada keringnya makna ilmu
tersebut ( dimaksud ).
Jujun S.
Suriasumantri ( 1982 : 69 – 70 )[5]
mengemukakan bahwa ilmu adalah sebagai
sesuatu yang akan menafsirkan alam dan segala dinamiknya tidak selalu harus
sesuai dengan apa adanya. Atau tidak selalu sesuai dengan apa yang dilihat,
diraba dan diserap. Sebab jika ilmu hanya sebatas itu, akan terjadi proses
pendangkalan terhadap ilmu itu sendiri.
Bagi
ilmuan yang berfaham materialisme, memahami aspek lain di
luar benda terwujud, tentu tidak mungkin mempercayai adanya sesuatu dibalik
yang terwujud. Ia dengan sekuat tenaga akan mencari berbagai penemuan sesuai
dengan standar dasar kefilsafatannya yang dianutnya tadi, yakni materi atau
sesuatu yang dapat dirasa dan diserap. Ilmuwan yang menganut faham iniakan
membatasi alam sebagai objek ilmu pada lingkup pengalaman yang bersifat
rasional – empiris atau sebaliknya. Oleh karena itu, bagi kelompok ini, ilmu
tidak berpaling pada perasaan tetapi terfokus pada objek – objek yang bersifat
kongkrit, nyata dan rasional. Secara ontologi, ilmuwan jenis ini, akan
membatasi hakekat keilmuan dalam jangkauan pengalaman manusia semata. Ia tidak
berani menerobos dinding kekuasaan keilmuan diluar batas tadi. Oleh karena itu,
tidak heran juga jika dalam perspektif ini, sebetapapun sistematisnya ilmu
kalam atau ilmu teologi, kajian ini tidak akan disebut sebagai ilmu, karena
yang dihadapinya bukan dunia nyata. Padahal standarisasi keilmuan kaum
materialis selalu akan menerapkan atau menempatkan ilmu hanya untuk mencari
jawaban terhadap masalah – masalah dunia yang nyata. Ilmu diawali dengan fakta
dan dianggapnya harus diakhiri dengan fakta pula.
Berbeda
dengan ilmuwan yang berfaham idealisme, yaitu usaha untuk mencari
tahu tentang berbagai informasi yang ada dalam objek empiris rasional itu,
tentu saja akan dibarengi dengan mencoba melakukan kajian ulang dalam
perspektif yang agak berbeda. Ia menyadari akan keterbatasan dirinya sebagai
manusia dan mengakui kehadiran suatu Dzat yang maha besar dibalik berbagai
realitas yang ada. Manusia dituntut hanya untuk memberikan pengertian dan
pendalaman terhadap objek materil yang terlihat.
Selain
kegunaan metafisika dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan sebagaimana
dijelaskan diatas, ada juga beberapa peran yang diperoleh ilmu pengetahuan
melalui kajian terhadap metafisika. Diantaranya peran – peran itu adalah :
Ø Metafisika
mengajarkan tetang cara berfikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Ø Metafisika
menuntut originalitas berfikir yang sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan.
Ø Metafisika
memberi bahan pertimbangan yang matang bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama pada wilayah pra anggapan – pra anggapan, sehingga persoalan yang
diajukan memiliki landasan berpijak yang kuat.
Ø Metafisika
membuka peluang bagi terjadinya perbedaan visi dalam melihat realita, karena
tidak ada kebenaran yang benar – benar absolut.
Memperhatikan
demikian kompleksnya kegunaan kajian
metafisika jika dihubungkan dengan ilmu pengetahuan atau pengaruhnya terhadap
ilmu pengetahuan, maka metafisika dapat membantu ilmuwan untuk menunjukkan
asumsi – asumsi metafisis yang diperlukan bagi pengembangan dan pembentukkan
teori atau paradigma ilmu pengetahuan. Ia menuntut secra berkelanjutan terhadap
sejumlah pengetahuan yang telah berhasil ditemukannya untuk terus dilakukan
pengkajiannya. Jika ini terjadi, maka metafisika dapat membantu ilmuwan untuk
meneruskan ciri dan sifat ilmu yang menuntut adanya tindak lanjut melalui
observasi dan penelitian lanjutan yang juga sulit berkesudahan. Kecuali dunia
ini benar – benar musnah dan tidak ada lagi penghuni yang bernama manusia.
2.4. Metafisika dan
Pencabangannya
Secara
umum metafisika dapat di bagi menjadi
metafisika umum dan metafisika khusus.
Pembagian dan pencabangan ini harus pula ditambahkan pada ketergantungan
pemahaman dan aliran yang dipakai oleh masing – masing filosof dan saintis.
Sebab bisa jadi, satu pencabangan diterima oleh suatu aliran dan secara
otomatis ditolak oleh aliran yang lain. Begitupun sebaliknya. Meski demikian,
ada beberapa cara yang bisa kita pakai untuk melihat pencabangan metafisika
yang ada meski tidak otomatis lazim dalam pengkajian filsafat ilmu. Pencabangan
dimaksud adalah metafisika umum dan metafisika khusus.
Metafisika
umum secara umum memiliki pencabangan yang juga banyak. Di antara cabang dari
aliran ini yaitu Idealisme, Materialisme dan Naturalisme. Sementara itu, yang termasuk
dalam metafisika khusus yaitu Kosmologi,Teologi
Metafisikadan Filsafat Antropologi.
v Metafisika Umum
Metafisika
umum sering juga diistilahkan dengan kata ontologi.
Oleh karena itu, tidak salah jika ada yang menyebut ontologi sama dengan metafisika.
Istilah ini sering diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang hakekat
sesuatu. Pengistilahan metafisika yang sama maknanya dengan ontologi
dilatarbelakangi oleh terdapatnya kesamaan antara makna metafisika dengan makna
ontologi. Kesamaan itu terletak pada fokus pengkajian di mana baik ontologi
maupun metafisika sama – sama mengkaji tentang eksistensi atau hakekat sesuatu
dilihat dari makna substansifnya.[6]
Metafisika umum ini
terbagi kedalam tiga aliran yaitu :
a.
Naturalisme
Naturalisme
adalah suatu faham yang memandang bahwa apa yang dinamakan kenyataan adalah
segala sesuatu yang bersifat kealaman.William R. Dennes beranggapan bahwa
kategori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan adalah “kejadian” yang terjadi dan terdapat
dalam alam. Kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan – satuan yang
menyusun kenyataan yang ada. Hanya satuan – satuan semacam itu lah yang menjadi
satu – satunya penyusun dasar bagi segenap atau segala sesuatu yang ada.
Secara
historis, faham naturalisme lahir beriringan dengan lahirnya sejumlah filosof
awal di Yunani. Tokoh penting yang terlibat dan mengembangkan faham ini adalah
filosof yang landasan kajiannya menitikberatkan pada alam sebagai unsur kajian
utama. Sebut saja tokoh yang dimaksud yaitu Thales, Anaximenes, Anaximandros,
Phytagoras dan Heraclitus.
Bagi
kaum naturalis, selalu muncul tiga persoalan penting dalam wacana pemikiran
kefilsafatan. Ketiga persoalan itu adalah Proses,
Kualitas dan Relasi. Oleh karena
itu, kaum naturalis berpendirian bahwa :
·
Ketiga kategori dasar (
proses, kualitas dan relasi ) yang mereka gunakan menunjukkan segala hal yang
bereksistensi dan terdapat dalam pengalaman.
·
Tidak ada satu kejadian
didalamnya tidak secara bersama terdapat ketiga kategori tersebut, meskipun
segi – segi tadi dapat dipilah berdasarkan satu pemilahan yang beralasan.
·
Mereka dapat
menunjukkan kejadian – kejadian yang segi – seginya menggunakan istilah
kategori yang disebut diatas. Karena alasan itu, mereka kemudian mengembangkan
tafsiran mengenai pengertian – pengertian, hipotesa – hipotesa, hukum –hukum
dan penelitian yang dikembangkan dalam ilmu alam, penyelidikan sejarah dan
dalam tanggapan – tanggapan di bidang seni dan kesusastraan.
b.
Idealisme
Aliran
ini dinamakan juga spiritualisme.
Idealisme berarti serba cita,
sedangkan spiritualisme berarti serba roh.
Aliran ini menganggap bahwa hakikat kenyataannya yang beraneka warna ini semua
berasal dari roh ( sukma ) atau yang sejenis dengan itu. Pokoknya sesuatu yang
tidak berbentuk dan materi atau dzat itu hanyalah suatu dari jenis penjelmaan
rohani.[7]
Aliran
ini menyatakan bahwa yang sesungguhnya ada dalam dunia adalah “idea”. Segala sesuatu yang tampak dalam
wujud nyata indrawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang
sesungguhnya. Sebab sejatinya keberadaan adalah sesuatu yang berda dalam dunia
idea. Realitas yang sesungguhnya bukan pada sesuatu yang kelihatan, melainkan
justru pada sesuatu yang tidak terlihat dan tidak tampak.
c.
Materialisme
Aliran
ini menganggap bahwa yang ada hanyalah materi. Adapun segala sesuatu yang
lainnya berupa jiwa atau roh tidak merupakan suatu kenyataan yang berdiri
sendiri. Jiwa atau roh itu menurut Faham materialisme hanyalah sebagai akibat
saja dari proses gerakkan kebendaan dengan salah satu cara tertentu.[8]
Secara
historis pelopor yang melahirkan faham ini tampaknya dapat disandingkan kepada
tokoh semacam Leukippos dan Democritos ( 460 – 370 SM ). Kedua filosof awal
ini, dapat disebut sebagai cermin filosof awal yang membangun teori
materialisme. Leukippos dan Democritos berpendapat bahwa “ relitas yang sesungguhnya bukan cuma satu, melainkan terdiri dari
banyak unsur “. Unsur – unsur itu sendiri tidak terbagi yang kemudian
disebutnya sebagai “atom” ( terambil dari bahasa Yunani ) yang berarti “tidak
dapat dibagi”.
v Metafisika Khusus[9]
Metafisika
Khusus adalah cabang filsafat yang
mengkaji dan membicarakan tentang alam, Tuhan dan manusia. Persoalan
eksistensi ketiga persoalan inilah yang telah menjadi dialektika menarik sejak
awal kelahiran filsafat di Yunani Kuna hingga era modern sekarang ini.
Secara
sederhana, setidaknya ada tiga pokok soal yang menjadi kajian dalam metafisika
khusus. Ketiga bidang kajian tersebut yaitu
Kosmologi, Teologi Metafisika dan
Filsafat Antropologi.
a.
Kosmologi
Kosmologi
berasal dari kata cosmos dan logy ( B. Yunani ). Kata cosmos secara sederhana dapat diartikan
ketertiban, keteraturan sehingga dalam istilah Yunani dikenal juga alam yang teleleologis. Artinya, alam berkembang
dan berjalan dalam ritme yang sangat teratur. Sedangkan kata logy ( logos ) yaitu percakapan atau
ilmu. Dengan demikian, Kosmologi adalah yang membahas
tentang alam fisik atau jagad raya ( cosmos ). Pengertian tadi, dapat pula
disebutkan bahwa kosmologi menjadikan jagad raya sebagai objek utama
penyelidikkannya.
Kosmologi
memandang alam sebagai suatu totalitas fenomena dan berupaya memadukan
spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah dalam suatu kerangka yang koheren.
Persoalan yang sering dibahas dalam aliran ini adalah mengenai ruang, waktu,
perubahan, kebutuhan, kemungkinan – kemungkinan dan keabadian. Metode yang
digunakannya bersifat rasional. Secara sederhana, kosmologi adalah cabang
filsafat yang membicarakan tentang hakekat atau asal usul alam semesta.
Berhubungan dengan konsep itu, maka kosmologi merupakan tempat persemaian bagi
apa saja yang ada, karena ruang dan waktu merupakan keadaan yang nyata dan yang
paling dalam. ( Louis O. Kattsoff, 1982 : 260).
Kosmologi
membagi alam pada dua jenis penyelidikkan, yaitu :
·
Alam fisika dijadikan
sebagai objek penyelidikkan kefilsafatan. Istilah – istilah pokok yang terdapat
dalam fisika, misalnya ruang dan waktu.
·
Pra anggapan yang
terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagad raya.
b.
Teologi
Metafisika
Aliran
ini mengkaji eksistensi Tuhan yang bebas dari ikatan agama. Eksistensi atau
perwujudan Tuhan dibahas secara rasional dalam perspektif kefilsafatan dan
sekuat mungkin melepaskan diri dari pendekatan teologi seperti selama lazim digunakan
kaum agamawan. Konsekuensi atas dibahasnya Tuhan dalam Perspektif tadi, maka ia
telah menjadi objek sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan
melalui metode ilmiah dengan pendekatan ilmiah dan filsafat. Tuhan dilepaskan
dari dokrin – dokrin agama. dan jika Tuhan dilepaskan dari kepercayaan agama,
hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh tentang – Nya dapat berupa :
·
Tuhan tidak ada, karena
sistem kefilsafatan sejak zaman Yunani sampai pada era Barat modern, masih
mengandalkan sumber kebenaran berasal dari faham empiris dan rasional.
·
Sulit menemukan
kepastian ada atau tidak adanya Tuhan, karena sekalipun rasionalisme merupakan
sumber pengetahuan, tetapi tidak akan mampu menunjukkan dalam fakta yang
empirik.
·
Tuhan ada tanpa dapat
dibuktikan secara rasional. Ia hadir dalam imajinasi manusia dan sulit
memperoleh pembuktian rasional. Dalam perspektif ini, Tuhan diwujudkan dan
dihadirkan serta diciptakan oleh manusia. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia,
tetapi manusia yang menciptakan Tuhan.
·
Tuhan ada dengan bukti
rasional. Kelompok ini, menganggap meski Tuhan terwujud dalam bentuk yang non
fisik, manusia dapat meyakini kebenaran – Nya melalui kresi – Nya berupa alam
dunia ini, serta berbagai keteraturan yang terdapat didalamnya. Dan hasil yang
terakhir inilah, ciri khas filsafat yang menciba memadukan aspek empirik –
rasional dan kehadiran sesuatu yang metafisis dengan pembuktian rasional atau
melalui pertimbangan – pertimbangan rasional.
Di
abad yang modern ini, filsafat metafisik – teologi juga tetap diakui
keberadaannya. Sigmund Freud ( 1856
– 1939 M ), meski ia sangat terkenal materialisme dan pengagum faham
positivisme, tetap juga keberadaan filsafat metafisik – teologi ini dalam
kehidupan manusia. Freud menyatakan bahwa
kehadiran Tuhan sangat penting bagi manusia. Meskipun Tuhan sulit di cerna
manusia melalui proses indrawi dan rasionalitasnya, Tuhan selalu tetap ada dan
menjumpai manusia. Kehadiaran Tuhan, menurut Freud serendahnya berguna bagi
manusia dalam tiga persoalan.
Ketiga
persoalan yang membutuhkan Tuhan itu, adalah :
·
Tuhan harus di anggap
sebagai penguasa alam.
·
Keyakinan agamis
memperdamaikan manusia dengan nasibnya yang mengerikan, terutama kematian.
·
Tuhan memelihara dan
menjaga agar ketentuan – ketentuan dan peraturan kultur akan dilaksanakan
manusia.
Selain
itu, filsafat metafisik – teologi juga telah menempatkan Tuhan sebagai pusat
segala sesuatu yang berada dibalik keaneka ragaman wujud alam ini.
c.
Filsafat
Antropologi
Filsafat
antropologi adalah cabang dari metafisika khusus untuk membicarakan tentang
manusia. Plato ( 428 – 348 SM ) membagi manusia menjadi dua bagian, yaitu yang
pertama bagian tubuh dan yang kedua bagian jiwa. Tubuh menurut Plato adalah
musuh jiwa. Berbagai kejahatan dilakukan oleh tubuh manusia dan sebenarnya
selalu ditolak oleh jiwa. Jiwa yang terdapat dalam tubuh seseorang persis
seperti penjara. Jiwa sendiri menurut Plato dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
nous ( akal ), thumos ( semangat ) dan epithumia ( nafsu ). Karena terpengaruh
oleh nafsu, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh. Kematian dianggapnya sebagai
upaya pemerdekaan jiwa dari tubuh manusia.[10]
BAB III
PENUTUP
Ø Kesimpulan
Metafisika
adalah ilmu yang menyelidiki hakikat segala sesuatu dari alam nyata dengan
tidak terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera saja atau bagian
filsafat yang memusatkan perhatiannya pada pertanyaan mengenai akar terdalam
yang mendasari segala adanya kita.
Metafisika
dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau
terdalam ( ultimate nature ) dari keadaan atau kenyataan yang tampak nyata dan
variatif.Dari kajian terhadap metafisika diharapkan akan diperoleh
kebijaksanaan yang paling prinsif dan paling fundamental. Sebab melalui kajian
metafisika, penyebab pertama ( penyebab, efesien, final dan material formal )
dari segala yang akan dikaji. Melalui kajian ini, manusia diharapkan dapat
kembali kepada fitrah dasarnya sebagai hamba Allah yang memiliki tanggung jawab
dan kewajiban dalam berbagai sisi kehidupan.
Metafisika
dibagi kedalam dua bagian, yaitu :
1. Metafisika
Umum
2. Metafisika
Khusus
Dimana
metafisika umum, meliputi :
1. Naturalisme
2. Idealisme
3. Materialisme
Sedangkan
metafisika khusus, meliputi :
1. Kosmologi
2. Teologi
Metafisika
3. Filsafat
Antropologi.
DAFTAR PUSTAKA
·
Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung : Mulia Press.
·
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai.
Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
·
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta :
PT Bumi Aksara.
·
Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
[1] Dr. Zainal Abidin. 2011.
Pengantar Filsafat Barat. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Hal : 58.
[2] Drs. Cecep Sumarna,
M.Ag. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai. Bandung. Pustaka Bani
Quraisy. Hal : 61 – 62.
[3]Ibid. Hal : 62 – 64.
[4] Drs. Cecep Sumarna,
M.Ag. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung. Mulia Press. Hal : 73.
[5]
Ibid.
[6] Drs. Cecep Sumarna,
M.Ag.2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai. Bandung. Pustaka Bani
Quraisy. Hal : 74 – 75.
[7] Drs.Surajiyo.2005.Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar.Jakarta.PT Bumi Aksara.Hal : 125.
[8] Ibid.Hal : 125
[9]Drs.Cecep Sumarna,
M.Ag.2006.Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai.Bandung.Pustaka Bani Quraisy.
Hal : 81.
[10]Ibid. Hal : 87.
0 komentar:
Posting Komentar